BUNGA BANK MENURUT PENDAPAT ULAMA
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas ujian tengah semester:
Mata Kuliah: fiqih Muamalah
Dosen Pengampu: Taufik Hidayat L.C, M.Si.
Disusun Oleh :
Zumrotun Nafiah (132411038)
JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar
belakang
Bunga bank atau Riba banyak sekali masyarakat yang sering
berargumen bahwa riba yang memiliki kultur sosial yang berbeda. Apakah bunga
bank benar-benar telah diharamkan dalam islam? Pertanyaan inilah yang sering
kali terulang dalam masyarakat. Banyak juga masyarakat yang berargument bahwa
riba telah diharamkan oleh islam di dalam al-quran dan hadist.
Dalam kondisi sepeti ini sangat sulit untuk mengetahui bagaimana
seseorang bisa memberikan justifikasi atas bunga dalam masyarakat islam.adanya
kesulitan untuk memahami larangan bunga ini, muncul karena kurangnya perhatian ummat
terhadap nilai-nilai islam yang sangat kompleks.
Dengan adanya masalah ini saya akan memaparkan tentang bunga bank
dan pendapat ulama tentang hukum bunga bank.
II.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertan bunga bank?
2.
Pendapat
ulama tentang bunga bank.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian bunga bank.
Kegiatam industri perbankan
merupakan suatu kegiataan yang mencari keuntungan. Dalam praktik perbankan di
indonesia sekarang ini ada dua model keuntungan. Untuk bank konvensional,
keuntungan diperoleh dari bunga pinjaman sedangkan untuk bank syariah keuntungan ddari dana bagi
hasil.
Bunga bagi bank yang menganut sistem
konvensional dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank kepada
nasabah yang menjual atau membeli produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai
harga yang harus dibayar kepada nasabah yang memiliki simppanan dan yang harus
dibayar kepada bank oleh nasabah yang memperoleh pinjaman.
Dalam kegiatan bank konvensional
terdapat dua macam bunga:
a.
Bunga
simpanan yaitu bunga yang diberiakan oleh bank sebagai rangsangan atau balas
jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank, seperti giro, bunga tabungan,
bunga deposit. Bagi pihak bank bunga simpanan merupakan harga beli.
b.
Bunga
pinjaman, yaitu bunga yang dibedakan kepada para peminjam atau harga yang harus
dibayar oeh peminjam kepada bank, seperti bunga kredit, bagi pihak bank, bunga
pinjaman merupakan harga jual.[1]
Bunga simpanan
dan bunga pinjaman merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi
bank. Bunga simpanan meupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah.
Sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah.
Selisish dari bunga pinjaman dikurangi bunga simpanan merupakan laba atau
keuntungan yang diterima.
Dalam catatan
sejarah kuno, sistem pembungaan uang telah dikutuk oleh para ahli pikir.
Dikalangan bangsa Yunani yang terkenal memiliki peradaban yang tinggi. Praktik
peminjaman uang dengan memungut bunga dilarang dengan keras. Aristoteles yang
mempunyai pengaruh besar pada generasi-generasi sesudahnya secara tegas
mengutuk pembungaan uang. Menurut aristoteles, fungsi uang yang utama adalah
untuk mempermudah perdagangan dan mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Plato juga berpendapat sama dengan Aristoteles ia mengutuk praktik
pembungaan uang.[2]
Apabila bunga bank wajib dihapuskan
agar semua umat yang terkait terbebas dari perbuatan riba, maka perlu
ditentukan alternatif lain untuk
mengatasi persoalan – persoalan yang akan timbul, antara lain dengan cara-cara
sebagai berikut:
a.
Wadi’ah (titipan uang,
barang, dan surat-surat berharga) dalam operasinya bank islam menghimpun dana
dari masyarakat dengan cara menerima deposito berupa uang, benda, dan
surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank
islam, bank berhak menggunakan dana yang didepositokan tanpa harus membayar
imbalannya. Namun,bank harus menjamin bahwa dana itu dapat dikembalikan tepat
waktu pemilik deposito memerlukannya.
b.
Mudharabah (kerja sama
antara pemilik modal dengan pelaksana) dengan mudharabah ini bank islam dapat
memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan
perjanjian bagi hasil, baik untung ataupun rugi sesuai dengan perjanjian yang
telah ditentukan sebelumnya. Pendapat ini dibantah oleh muhammad muslaehuddin
pada sebuah makalah yang berjudul; “Interest Free Banking and Feasibility of
Mudharabah” yang disajikan pada koferensi internasional ilmu ekonomi islam
pertama, pada tahun 1976 di mekkah. Menurut muuhammad muslaehuddin kontrak mudharabah
hanya dapat dilaksanakan dua orang, yaitu antara pemilik modal dan pelaksana.
Alasan yang kedua ialah pihak yang berkerja tidak dapat menanamkan modal
miliknya sendiri di dalam usaha yang dimodali oleh bank. Lasan yang terakhir
ialah bank islam tidak akan memberi pinjaman pada perusahaan-perusahaan yang
baru saja menanamkan modalnya sendiri pada usaha-usaha mereka.
c.
Musyarokah/syirkah (penyusutan)
, dengan musyarokah ini pihak penguasa sama-sama mempunyai andil (saham) pada
usaha patungan, maka kedua belah pihak turut berpartisipasi mengelola usaha
patungan dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian Profit
and Loss Sharing.
d.
Murabahah (jual beli
barang dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian yang pertama secara
jujur). Dengan murabahah ini pada hakikatnya seseorang ingin mengubah bentuk bisnisnya
dari kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli. Dengan sistem ini
bank dapat menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh para pengusaha untuk
dijual lagi dan bank meminta tambahan harga atas harga pembeliannya. Syarat
Murabahah antara lain bahwa bank harus memberikan informasi selengkapnya
(sebenarnya) kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya
dari cost plus-nya.
e.
Qardh hasan (pinjaman yang
baik), bank islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah
yang baik, terutama pada nasabah yang memiliki deposito di bank islam.
Peminjaman tanpa bunga ini dilakukan sebagai service dan penghargaan kepada
para deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank islam. Bank islam
juga dibolehkan menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi
langsung dalam berbagai bidang usaha yang
dapat menghasilkan laba (profitable). Dalam hal ini bank sendiri yang melakukan
pengaturannya secara langsung, berbeda dengan investasi patungan yakni
pengaturannya dilakukan oleh bank bersama partnernya dengan perjanjian Profit
and Loss of Sharing.
f.
Bank
islam boleh mengelola zakat di negara yang pemerintahnya tidak mengelola zakat
secara langsung. Bank islam juga dapat mengggunakan sebagian zakat yang
terkumpul untuk proyek –proyek yang produktif yang hasilnya untuk kepentingan
agama dan umum.
g.
Bank
islam juga boleh menerima dan memungut pembayaran untuk :
1)
Mengganti
biaya-biaya yang langsung dikeluarkan langsung oleh bank dalam melaksanakan
pekerjaannya untuk melayani kepentingan para nasabah, misaalnya biaya materai,
teepon dalam memberitahukan rekening dan yang lain-lainnya.
2)
Membayar
gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingn nasabah,
untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi
pada umumnya.[3]
Masih banyak institusi pendidikan lebih mengenalkan bunga sebagai
agian instrumen moneter dari sistem keuangan di dalam suatu negara. Hal ini
diakibatkan sebagian akademisi mengambil rujukan dari beberapa literatur
konvensional sehingga sistem moneter non-ribawwi kurang begitu dikenal oleh kalangan akademisi dan masyarakan.
Bahkan timbul kecenderungan beberapa pihak bersikap tidak peduli atau
sebaliknya terlalu kritis terhadap keberadaan bagi hasil sebagai instrumen
moneter.[4]
2.
Bunga bank menurut para ulama.
Dalam pandangan islam, bunga sama
dengan riba yakni dilarang, dalam bebeapa ayat al-Quran laranga itu dinyatakan
dengan sangat jelas dalam QS al-baqarah:275-276 dan surah ali imrom ayat 130.
Dalam al-quran riba yang dimaksud disini adalah riba nas’iah. Menurut sebian
besar ulama bahwa riba nas’iah selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. [5]
Untuk mendapatkan gambaran tentang
pendapat para ulama dan kaum intelegensia muslim di indonesia, perlu
dikemukakan kesimpulan dari kegiatan ulama dan cendekiawan muslim dalam
membahas riba dan bank.
Muzakaroh dan pengkajian ilmiah
tentang riba dan bunga bank yang dilaksanakan Majelis Ulama Sumatera Utara
bersama yayasan Baitul Makmur Sumatera Utara pada tahun 1985 membuat kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Perbankkan
dan lembaga-lembaga keuangan non bank adalah satu sub sistem dari sistem
ekonomi dewasa ini yang sulit dapat dihindarkan.
2.
Riba
yang sifatnya adh’afan mudha’afah (berlipat
ganda) adalah hukumnya haram, sesuai
dengan nash yang shahih dari al-Quran dan sunnah.
3.
Bunga
bank adalah masalah yang masih berbeda pendapat para ulama, pendapat-pendapat
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Mengharamkan
bunga bank karena menganggapnya sama dengan riba.
b.
Membolehkan
bunga bank karena menganggapnya tidak sama dengan riba, yang diharamkan oleh
syarri’at islam.
c.
Bunga
bank adalah haram, tetapi karena beum ada jalan keluar untuk menghindarkannya,
maka dibolehkan (karena diangggap darurat).
Majelis
Tarjih Muhammadiyah Sidoarjo membuat keputusan bahwa bunga yang diberikan oleh
bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara
mutasabihat. Majelis Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta dalam Mukhtamar
Tarjih Muhammadiyah tahun 1989 dalam masalah bunga bank masih membuat
kesimpulan yang sama yakni bunga bank adalah mutasabihat.
Alasan bagi
yang mengharamkan bunga bank, karrena bunga bank, karena bunga bank sama saja
dengan riba yang dilarrang dalam al-Quran dan al-hadist. Mereka yang
membolehkan atau menghalalkan bunga bank mendasarkan pendapatnya pada pandagan
bahwa bunga bank tidak sama dengan riba. Rente (bunga bank) itu sifatnya
produktif. Orang yang meminjam bukan untuk dimakan tetapi untuk dijadikan modal
usaha yang akan menghasilkan keuntungan. Adalah hak dari bank yang memberi
pinjaman untuk mendapatkan keuntungn pula. Demikian muhammad hattta, bagi yang
membolehkan bunga bank karena darurat beralasan karena rakyat dan negara
indonesia tidak bisa lepas dari masalah
bank. Bangsa dan negara indonesia diperbolehkan menerapkan dan mengambil bunga
bank karena terpaksa keadaan antara lain karena belum ada lembaga perbankkan yang
menerapkan kegiatan perbankkan bebas bunga.[6]
Dalam pembahasan ulama fiqih klasik
tidak dijumpai pembahasan tentang kaitan antara bunga bank dengan riba. Karena
sistem perekonomian dengan bank belum dikenal dizaman mereka. Pembahasan
mengenai bunga bank apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam
berbagai literatur fiqih kontemporer. Wahbah az-zuhaili, pakar fiqih syria
membahas hukum bunga bank melalui kaca mata riba dalam terminologi ulama-ulama
klasik dalam berbagai mazhab fiqih. Menurutnya, apabila standar riba yang
digunakan adalah pandangan para ulama mazhab fiqih klasik, maka bunga bank
termasuk riba an-nasi’ah. Karena, menurutnya bunga bank itu termasuk
kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima dengan menggunakan tenggang
waktu. Hal ini menurutnya, sama halnya seperti yang dibahas para ulama fiqih
klasik. Oleh sebab itu bung bank termasuk riba yang diharamkan syara’.[7]
Demikian juga pembahasan riba yang dilakukan
oleh Majma’al-buhuts al-islamiyyah di kairo, sekalipun mereka mengakui bahwa
sistem perekonomian suatu negara tidak boleh maju tanpa bank dan bank belum
dikenal di masa rasulullah saw, namun karena sifat bunga itu merupakan
kelebihan dari pokok utang yng tidak ada imbalan bagi orang yang berpiutang dan
sering menjurus kepada sifat adh’afan mudha’afatan (berlipat ganda)
apabila utang tidak dibayar tepat waktu, maka lembga ini pun menetapkan bahwa
bunga bank termasuk kepada riba yang diharamkan syara’.
Dikalangan
organisasi islam di indonesia terdapat pula perbedaan pandangan tentang bunga
bank. Dalam pandangan Muhammadiyyah, “ilat keharaman riba itu adalah
eksploitasi pihak pemodal (bank) terhadap yang lemah. Dalam perkataan lain ‘illat-nya
adalah kezaliman, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-baqarah,2:279.
Mmenurut keputusan mukhtamar Tarjih Muhammadiyah yang dilangsungkan di malang
pada tahun 1989, bunga bank itu bersifat musytahibat (diikeragui) apabila
banknya adalah bank swasta, bahkan cenderung mengharamkan bunga bank swasta.
Terhadap sesuatu yang musytabihat syara’ memerintahkan untuk dihindari.
Sedangkann bunga bank yang terdapat pada bank-bank pemerintah, hukumnya boleh;
tidak termasuk riba. Alasan yang dikemukakan antara lain adalah bahwa bank
pemerintah dianggap badan yang mencakup hampir semua kebaikan dalam alam
perekonomian modern dan dipandang memiliki norma yang menguntungkan masyarakat
dibidang kemakmuran. Bunga yang dipungut dari sistem perkreditan sangat rendah,
sehigga sama sekali tidak ada pihak yang dikecewakan. Disamping itu bunga yang
dipungut bank dari peminjam uang di bank pemerintah akan digunakan juga untuk
kemaslakhatan bersama bangsa indonesia. Oleh sebab itu, pungutan bunga yang
dilakukan bank-bank pemerintah pada akhirnya akan dikembalikan pada rakyat
indonesia dan untuk memakmurkan bangsa indonesia.
Sedangkan bunga yang dipungut oleh bank swasta adalah untuk
kepentingan pribadi pemillik bank. Oleh sebab itu, sikap tolong menolong tidak
terlihat pada bank ini dan seluruh keuntungan bank menjadi milik pribadi
pemegang saham. Karenanya, dihukumkan dengan mushitabihat. Akan tetapi,
Kasman Singodemedjo, tokoh mukhammadiyah sendiri menyatakan bahwa melihat
beberapa konsideran keputusan tarjih Mukhammadiyah itu dan bahwa ‘illat
zalim sebenarnya juga tidak dijumpai
dalam bank-bank swasta, semestinya mukhammmadiyah tidak membedakan lagi antara
bunga bank milik pemerintah dengan bunga bank milik swasta; keduanya semestinya
dihalalkam, asal tidak ada unsur penganiayaan atau penindasan.[8]
Muhamad Rasyid
Rida, mufasir dari mesir, setelah mengadakan analisis terhadap ayat-ayat yanng
berbicara tentang riba menyimpulkan bahwa” tidak termasuk dalam pengertian
riba, jika seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk
diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usaha itu kadar tertentu.
Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta,
sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa sebab, kecuali
keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha, kecuali melalui
penganiayaan dan ketamakan.
Ahmad hasan,
pendiri persis, berpendapat bahwa bunga bank yang ada di indonesia tidak
termasuk riba yang diharamkan al-quran, karena unsur penganiayaannya tidak ada.
Demikian juga organisasi islam Nahdhatul Ulama Indonesia, telah menyepakati
bahwa bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan, baik bunga bank itu
terdapat pada bank pemerintah maupun bank swasta.
Abdul Hamid Hakim,
tokoh pembaharu dari Sumatera Barat, berpendapat bahwa bunga bank itu termasuk
ke dalam kategori riba al-fadhl dan dibolehkan apabila dalam keadaan
darurat. Karena, menurutnya riba al-fadhl merupakan jalan untuk
sampai kepada riba an-nasi’ah. Oleh sebab itu, keharaman riba
al-fadhl lebih bersifat preventif dan dibolehkan apabila darurat atau
keperluan mendesak: sesuai dengan kaidah fiqih yang mengatakan.
الضرورة تبيØ
المØظورات
Darurat itu membolehkan yang dilarang
Dan keperluan mendesak dapat menempati posisi darurat.
Mustafa Ahmad
az-Zarqa, sekarang guru besar hukum islam di Universias Amman, Jordania,
mengemukakan pendapat yang sama dengan Abdul Hamid Hakim, yaitu termasuk riba
al-fadhl yang dibolehkan karena darurat dan bersifat sementara. Artinya,
umat islam harus berupaya untuk mencari jalan keluar dari sistem bank
konvensional itu, dengan mendirikan bank islam, sehingga keraguan atau sikap
tidak setuju dengan bank konvensional
dapat dihilangkan.
Syafruddin
Prawiranegara, tokoh Masyumi, berpendapat bahwa bunga bank tidak termasuk riba,
karena pada dasarnya bunga bank adalah jasa yang dikeluarkan atau dipungut dari
dan untuk pembiayaan administrasi bank itu. Uang seseorang yang disimpan di
bank, menurut mereka, oleh pihak bank diedarkan kepada masyarakat yang
memerlukannya. Masyarakat yang memerlukan ini diminta membayar atau membagi
sedikit uang jasa untuk biaya administrasi dan sebagiannya lagi diberikan
kepada pihak nasabah. Oleh sebab itu, istilah “kelebihan tanpa imbalan“ yang
dikemukakan para ulama fiqih klasik tidk terdapat dalam praktik bank dan bunga
bank. Karena, uang masyarakat yang ada di bank adalah dari dan untuk masyarakat.
Disampinng itu, secara prosedural, bank telah membuat suatu kesepakatan dengan
nasabah atau peminjam uang di bank itu, dengan ketentun adanya persentase yang
harus dibayarkan peminjam atau yang akan diterima nasabah dari keuntungan bank.
Setiap nasabah atau peminjam uang menyetujui ketentuan-ketentuan itu. Dengan
demikian, unsur kerelaan atas seluruh ketetapan bank telah mereka tunjukkan.
Oleh itu, pihak bank tidak boleh disalahkan.
Muhammad Quraish
Shihab, mufasir indonesia, telah menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan
riba, asbab an-nuzul-nya dan pendapat berbagai munfasir, menyimpulkan
bahwa illat dari keharaman riba itu adalah sifat aniaya (az-Zulm) sebagaimana
yang terdapat di akhir ayat 279 surat al-Baqarah. Oleh sebab itu, menurutnya,
yang diharamkan itu adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang
mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau
penambahan jumlah utang. Kesimpulannya ini didukung oleh praktik Nabi saw. yang
membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Dalam sebuah riwayat Abu
Hurairoh dikatakan bahwa Rasulullah saw. penah meminjam seekor unta dengan usia
tertentu kepada seseorang, kemudian orang itu datang kepada nabi untuk
menagihnya. Ketika dicarikan unta yang
seumur dengan unta yang dipinjam, ternyata tidak dijumpai, kecuali yang lebih
tua dari unta yang dipinjam. Lalu Nabi memerintahkan untuk membayarkan utangnya
itu dengan unta yang lebih tua itu, sambil bersabda:
خيارالناس
اØسنهم قضاء (رواه اØمد بن Øنبل وابوداود)
sebaik – baiknya kamu adalah orang yang sebaik-baiknya membayar
utang. (HR Ahmad Hambal dan Abu Dawud)
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa jabir ibn abdillah pernah
mengutangi Nabi saw. dan ketika membayarnya Nabi melebihkannya (HR Al- Bukhori
dan muslim).[9]
Hingga dewasa ini di dunia islam
(masyarakat) masih dirasakan perlu membicarakan masalah perbankan yang berlaku
di dunia yang menggunakan sistem bunga atau rente. Hal ini dirasakan wajar
mengingat para ulama dalam menghadapi bunga bank ini berbeda pendapat, baik
perbedaan itu konvensional (bertentangan) maupun penyimpanan.
Pada garis besarnya para ulama terbagi menjadi tiga bagian (tiga golongan) dalam menghadapi
masalah bunga perbankan ini, yaitu kelompok yang mengharamkan, kelompok yang
menganggap syubhat (samar) dan kelompok yang menganggap halal (boleh).
Muhammad abu zahrah, Abul a’la al-Maaududi muhammad abdul al-‘arabi
dan muhammad nejatullah shiddiqi adalah kelompok yang mengharamkan bunga bank,
baik yang mengambilnya (bagi penyimpan
uang di bank) maupun bagi yang mengeluarkannya (peminjam uang di bank).
Menurut Abul A’la Al-Maududi yang dikuti oleh muhammad Netajullah
Shiddiqi dalam bukunya yang berjudul muslim economic thinking yang
diterjemahkan oleh A.M Saefuddin dengan judul Pemikiran Ekonomi Islam berpendapat
bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber dari sekian banyak sumber
keburukan ekonomi, seperti depresi dan monopoli. Adapun alasan yang dikemukakan
oleh al-maududi adalah sebagai berikut:
a.
Bunga
pada pinjaman konsumtif memindahkan sebagai daya beli sekelompok orang yang
kecenderungan konsumsinya tinggi kepada kelompok yang kecenderungannya rendah,
kelompok yang kecenderungannya rendah menanamkan kembali pendapatnya dari bunga
sebagai modal baru. Hal ini berarti permintaan konsumen turun yang dikuti
dengan kenaikan produksi.
b.
Bunga
pada pinjaman produksi meningkatkan ongkos produksi sehingga menaikkan harga
barang-barang konsumsi. Maksudnya bahwa pinjaman prduktif dapat menaikkan harga
produksi yang berarti penaikan harga barang-barang.
Alasan – alasan bunga diharamkan menurut Muhammad Netajullah
Shiddiqi adalah sebagai berikut:
a.
Bunga
bersifat menindas (zhalim) yang menyangkut pemerasan. Dalam pinjam konsumtif
seharusnya yang lemah (kekurangan) ditolong oleh yang kuat (mampu), tetapi
dengan bunga pada awalnya orang lemah ditolong kemudian diharuskan membayar
bunga, itu tidak ditolong, tetappi memeras. Hal ini dapat dikatakan bahwa yang
kuat (penanam modal) menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Dalam pinjaman
produktif dianggap pengambilan tidak adil, mengingat bunga yang harus dibayar
sudah ditentukan ketika meminjam, sementara keuntungan dalam usaha belum pasti.
b.
Bunga
memindahkan kekayaan dari orang miskin (lemah) kepada orang kaya (kuat) yang
kemudian dapat menciptakan ketidak seimbanagan kekayaan. Ini bertentangan
dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan kehendak allah yang menghendaki
penyebaran pendapatan dan kekayaan yang adil. Islam menganjurkan kerja sama dan
persaudaraan dan bunga bertentangan dengan itu.
c.
Bunga
dapat menciptakan kondisi manusia pengangguran, yaitu para penanam modal dapat
menerima setumpukan kekayaan dari
bunga-bunga modalnya sehingga mereka tidak lagi bekerja untuk menutupi
kebutuhan hidupnya. Cara hidup ini berbahaya bagi masyarakat juga bagi pribadi
orang tersebut.
Muhammad Abu Zahrah menegaskan bahwa rente (bunga) bank termasuk
riba nas’iah yang diharamkan dalam agama islam oleh Allah dan Rasul-Nya.
Anwar Iqbal Qureshi dalam bukunya islam dan teori pembungaan
uang, menegaskan bahwa beliau sepakat dengan pendapat Muhammad al-fakhir
yang menegaskan bahwa:
a.
Bunga
pada dasarnya bertentangan dengan prinsip liberal islam yang merupakan dasar
pokok susunan masyarakat islam.
b.
Sangat
salah suatu pandangan yang mengatakan bahwa islam tidak melarang bunga bias,
tetapi hanya melarang bunga yang berlipat ganda. Sebetulnya dalam ajaran islam
setiap jenis bunga betapapun kecilnya dinyatakan terlarang.
c.
Sebagai
masyarakat berpendapat bahwa bank menolong para industri dan
transaksi-transaksi dagang sehingga pemungutan bunga diizinkan. Pendapat ini
ternyata keliru, yang jelas bunga bank sama dengan bunga yang diambil oleh
sahukar, yaitu seorang yahudi tua yang pekerjaannya memberikan pinjaman uang
dan mengambil bunganya.
d.
Untuk
mencoba membenarkan bahwa bunga bank bertentangan dengan pandangan islam, maka
kewajiban umat islam untuk mengemukakan prinsip-prinsip dasar ajaran islam yang
berhuubungan dengan hal itu dan bukan menyembunyikan kelemahan-kelemahan dengan
cara membenarkan pengambilan bunga tersebut.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Imam Fachruddin Razi tentang
larangan pembungaan uang yang dikemukakan dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib atau
terkenal dengan Tafsir Kabir, adalah sebagai berikuut:
a.
Setiap
perubahan atau penambahan disebt riba
Nas’iah dan riba Nas’iah diharamkan oleh agama.
b.
Bunga
memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta benda orang lain tanpa alasan
–alasan yang diizinkaan oleh aturan – aturan sehingga perampas tidak memperdulikan
hak-hak orang lain.
c.
Secara
nyata penghasilan yang diterima dari bunga uang menghambat pemberi uang untuk berusaha memasuki suatu
jabatan atau pekerjaan di masyarakat karena dia tidak berusaha pun kebutuhan
hidupnya sudah terpenuhi.
d.
Utang
selalu menurunkan harga diri dan kehormatan seseorang di masyarakat. Apabila
pembayaran ditambah dengan bunga, maka akan menghasilkan perasaan saling
menghormati sifat-sifat baik dan perasaan berutang budi.
e.
Apabila
dalam transaksi pinjam-meminjaam diizinkan pembungaan, maka akan tterjaadi
kesenjangan sosial, yakni yang meminjamkan akan semakin kaya dan yang meminjam
akan semakin tercekik. Kemudian lahirlah suatu pernyataan “yang kaya makin kaya
dan yang miskin akan semakin miskin”.
f.
Alasan
terakhir bunga bank dilarang ialah karena bunga bank bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran allah yang terdapat dalam al-Quran dana ajaran
Rasul-Nya.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, bank merupakan lembaga vital dalam
dunia perekonomian modern. Suatu keyataan yang jelas adalah bahwa tidak ada
umat islam yang tidak bermuamalah dengan bank yang ada dewasa ini dengan
pertimbangan dalam keadaan darurat.
Mustafa Ahmad al-Zahrah, merupakan salah seorang guru besar Hukum
Islam dan Perdata Universitas Suriah berpendapat sebagai berikut:
a.
Sistem
perbankkan yang berlaku hingga kini dapat diterima sebagai suatu penyimpanan
yang bersifat sementara. Dengan kata lain sistem perbankan merupakan suatu
kenyataan yang tidak dapat dihindari sehingga umat islam dibolehkan bermuamalah
atas dasar pertimbanggan darurat, tetapi umat islam harus senantiasa berusaha
mencari jalan keluar.
b.
Pengertian
riba dibatasi hanya megenai praktik riba dikalagan arab jahiliyah, yaitu yang
benar-benar merupakan suatu pemerasan dari orang-orang mampu (kaya) terhadap
orang-orang miskin dalam utang piutang yang bersifat konsumtif, bukan utang
piutang yang bersifat produktif.
c.
Bank
– bank dinasionalisasi sehingga menjadi perusahaan negara yang akan
menghilangkan unsur-unsur eksploitasi. Sekalipun bank negara mengambil bunga
sebagai keuntungan, penggunaannya bukan untuk orang-orang tertentu, melainkan
menjadi kekayaan negara yang akan digunakan untuk kepentingan umum.
Ulama Muhammadiyah dalam mu’tamar tarjih di sidoarjo jawa timur
tahun 1968 memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara
kepada para nasabahnya dan sebaliknya termasuk masalah musytabihat.[10]
Masalah musytabihat adalah perkara yang belum ditemukan kejelasan hukum
halal atau haramnya, sebab mengandung unsur-unsur yang mungkin dapat
disimpulkan sebagai perkara yang haram. Namun, ditinjau dari segi lain ada pula unsur-unsur lain yang
meringankan keharamannya. Dipihak lain bunga masih termasuk riba sebab
merupakan tambahan dari pinjaman pokok. Meskipun tidak terlalu besar, tetapi
disisi lain bunga yang relatif kecil itu bukan merupakan keuntungan perorangan,
melainkan keuntungan yang digunakan untuk kepentingan umum. Pertimbangan besar
kecilnya bunga \dan segi penggunaannya dirasakan agak meringankan sifat
larangan riba yang unsur utamanya adalah pemerasan dari orang-orang kaya
terhadap orang-orang miskin. Meskipun bunga bank dianggap musytabihat tidak
berarti umat islam diberikan kebebasan untuk mengembangkan bunga. Nabi SAW
memerintahkan umat islam hati-hati terhadap perkara syubhat dengan cara
menjauhinya.
Menyimak pendapat Mustafa Ahmad al-Zarqa dan ulama Muhammadiyah
diatas, kiranya dapat dipahami bahwa umat islam dibolehkan bermuamalah dengan
bank.
Pendapat selanjutnya dari a.Hasan pendapat yang menghalalkan
pengambilan atau pembayaran bunga di bank yang ada dewasa ini, baik bank swasta
maupun bank negeri. Pendapat ini diperjelas dala QS.Ali Imron ayat 130, yang
bunyinya;
“Jangan kamu memakan riba dengan berlipat ganda”
Jadi riba adalah bunga yang berlipat ganda. Bila bunga hanya dua
persen dari modal pinjaman itu, itu tidak berlipat ganda sehingga tidak
termasuk riba yang diharamkan oleh agama islam. Dan pendapat ini dibantah oleh Fuad Mohd. Fachruddin dalam
bukunya riba dalam bank,koperasi, perseroan dan asuransi. Menurutnya dalam
surat ali Imron ayat 130 dijelaskan riba yang berlipat ganda atau riba
jahiliyah, sedangkan rente tidak berlipat ganda. Hal ini tidak berarti bahwa
bunga yang tidak berlipat ganda itu boleh.[11]
Alasan mendasar kenapa al-Quran memberiak putusan hukum yang sangat keras terhadap riba (bunga)
adalah karena islam ingin menciptakan suatu sistem ekonomi, dimana segala
bentuk eksploitasi bisa dihapus juga. Islam juga ingin menghapus segala bentuk
ketidakadilan dalam ekonomi, yaitu ketidak adilan pihak pemodal yang
menginginkan return yang positif, tanpa melakukan kerja apa pun atau tanpa
harus berbagi dalam risiko, sementara disisi lain pelaku bisnis harus bekerja
keras dan mengelola usaha tanpa mendapatkan kepastian atas return yang positif.[12]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam catatan sejarah kuno, sistem pembungaan uang telah dikutuk
oleh para ahli pikir. Dikalangan bangsa Yunani yang terkenal memiliki peradaban
yang tinggi. Praktik peminjaman uang dengan memungut bunga dilarang dengan
keras. Aristoteles yang mempunyai pengaruh besar pada generasi-generasi
sesudahnya secara tegas mengutuk pembungaan uang. Menurut aristoteles, fungsi
uang yang utama adalah untuk mempermudah perdagangan dan mempermudah manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Plato juga berpendapat sama dengan
Aristoteles ia mengutuk praktik pembungaan uang.
DAFTAR PUSTAKA
Djuwaini,
Dimyauddin, Pengantar Fiqih muamalah,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008)
Haroen,
Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta:
Gaya Media Pratama ,2007)
Muslich,
Ahmad Wardi, fiqih muamalah,( jakarta: amzah 2010)
Sudarsono,
Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia,2003)
Suhendi,
Hendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Rajawali Press 2010)
Yanggo, Chuzaimah T, Problematika Hukum Islam Kontemporer III,(jakarta:
Penerbit Pustak Firdaus, 1995)
[1] Drs. H.
Ahmad Wardi muslich, fiqih muamalah,( jakarta: amzah 2010)hlm 503
[2] Ibid.
Hlm 505.
[3] Ibid.
Hlm 505
[4] Heri
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta:
Ekonisia,20030 hlm 23-24.
[5] Drs.h.
Ahmad Wardi Muslich. Hlm 506
[6] Dr. H.
Chuzaimah T yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III,(jakarta:
Penerbit Pustak Firdaus, 1995) hlm
64-65.
[7] Dr. H.
Nasrun Haroen, MA, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama ,2007) hlm.188.
[8] Ibid.hlm
189
[9] Dr. H.
Nasrun Haroen, MA, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama ,2007)
hlm.188-190.
[10] Prof.
Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Rajawali Press 2010).hlm
276-281.
[11]
Ibid.hlm 282
[12]
Dimyauddin djuwaini, Pengantar Fiqih muamalah, (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2008) hlm, 203-204.