Senin, 15 Juni 2015

fiqih muamalah



BUNGA BANK MENURUT PENDAPAT ULAMA
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas ujian tengah semester:
Mata Kuliah: fiqih Muamalah
Dosen Pengampu: Taufik Hidayat L.C, M.Si.



Disusun Oleh :
Zumrotun Nafiah (132411038)

JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015



BAB I
PENDAHULUAN
I.                   Latar belakang
Bunga bank atau Riba banyak sekali masyarakat yang sering berargumen bahwa riba yang memiliki kultur sosial yang berbeda. Apakah bunga bank benar-benar telah diharamkan dalam islam? Pertanyaan inilah yang sering kali terulang dalam masyarakat. Banyak juga masyarakat yang berargument bahwa riba telah diharamkan oleh islam di dalam al-quran dan hadist.
Dalam kondisi sepeti ini sangat sulit untuk mengetahui bagaimana seseorang bisa memberikan justifikasi atas bunga dalam masyarakat islam.adanya kesulitan untuk memahami larangan bunga ini, muncul karena kurangnya perhatian ummat terhadap nilai-nilai islam yang sangat kompleks.
Dengan adanya masalah ini saya akan memaparkan tentang bunga bank dan pendapat ulama tentang hukum bunga bank.
II.                Rumusan Masalah
1.      Apa pengertan bunga bank?
2.      Pendapat ulama tentang bunga bank.










BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian bunga bank.
Kegiatam industri perbankan merupakan suatu kegiataan yang mencari keuntungan. Dalam praktik perbankan di indonesia sekarang ini ada dua model keuntungan. Untuk bank konvensional, keuntungan diperoleh dari bunga pinjaman sedangkan  untuk bank syariah keuntungan ddari dana bagi hasil.
Bunga bagi bank yang menganut sistem konvensional dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank kepada nasabah yang menjual atau membeli produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah yang memiliki simppanan dan yang harus dibayar kepada bank oleh nasabah yang memperoleh pinjaman.
Dalam kegiatan bank konvensional terdapat  dua macam bunga:
a.       Bunga simpanan yaitu bunga yang diberiakan oleh bank sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank, seperti giro, bunga tabungan, bunga deposit. Bagi pihak bank bunga simpanan merupakan harga beli.
b.      Bunga pinjaman, yaitu bunga yang dibedakan kepada para peminjam atau harga yang harus dibayar oeh peminjam kepada bank, seperti bunga kredit, bagi pihak bank, bunga pinjaman merupakan harga jual.[1]   
Bunga simpanan dan bunga pinjaman merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank. Bunga simpanan meupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah. Sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah. Selisish dari bunga pinjaman dikurangi bunga simpanan merupakan laba atau keuntungan yang diterima.
Dalam catatan sejarah kuno, sistem pembungaan uang telah dikutuk oleh para ahli pikir. Dikalangan bangsa Yunani yang terkenal memiliki peradaban yang tinggi. Praktik peminjaman uang dengan memungut bunga dilarang dengan keras. Aristoteles yang mempunyai pengaruh besar pada generasi-generasi sesudahnya secara tegas mengutuk pembungaan uang. Menurut aristoteles, fungsi uang yang utama adalah untuk mempermudah perdagangan dan mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Plato juga berpendapat sama dengan Aristoteles ia mengutuk praktik pembungaan uang.[2]  
Apabila bunga bank wajib dihapuskan agar semua umat yang terkait terbebas dari perbuatan riba, maka perlu ditentukan alternatif  lain untuk mengatasi persoalan – persoalan yang akan timbul, antara lain dengan cara-cara sebagai berikut:
a.      Wadi’ah (titipan uang, barang, dan surat-surat berharga) dalam operasinya bank islam menghimpun dana dari masyarakat dengan cara menerima deposito berupa uang, benda, dan surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank islam, bank berhak menggunakan dana yang didepositokan tanpa harus membayar imbalannya. Namun,bank harus menjamin bahwa dana itu dapat dikembalikan tepat waktu pemilik deposito memerlukannya.
b.      Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana) dengan mudharabah ini bank islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil, baik untung ataupun rugi sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan sebelumnya. Pendapat ini dibantah oleh muhammad muslaehuddin pada sebuah makalah yang berjudul; “Interest Free Banking and Feasibility of Mudharabah” yang disajikan pada koferensi internasional ilmu ekonomi islam pertama, pada tahun 1976 di mekkah. Menurut muuhammad muslaehuddin kontrak mudharabah hanya dapat dilaksanakan dua orang, yaitu antara pemilik modal dan pelaksana. Alasan yang kedua ialah pihak yang berkerja tidak dapat menanamkan modal miliknya sendiri di dalam usaha yang dimodali oleh bank. Lasan yang terakhir ialah bank islam tidak akan memberi pinjaman pada perusahaan-perusahaan yang baru saja menanamkan modalnya sendiri pada usaha-usaha mereka.
c.       Musyarokah/syirkah (penyusutan) , dengan musyarokah ini pihak penguasa sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan, maka kedua belah pihak turut berpartisipasi mengelola usaha patungan dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian Profit and Loss Sharing.
d.      Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Dengan murabahah ini pada hakikatnya seseorang ingin mengubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli. Dengan sistem ini bank dapat menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh para pengusaha untuk dijual lagi dan bank meminta tambahan harga atas harga pembeliannya. Syarat Murabahah antara lain bahwa bank harus memberikan informasi selengkapnya (sebenarnya) kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya dari cost plus-nya.
e.       Qardh hasan (pinjaman yang baik), bank islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik, terutama pada nasabah yang memiliki deposito di bank islam. Peminjaman tanpa bunga ini dilakukan sebagai service dan penghargaan kepada para deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank islam. Bank islam juga dibolehkan menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang usaha  yang dapat menghasilkan laba (profitable). Dalam hal ini bank sendiri yang melakukan pengaturannya secara langsung, berbeda dengan investasi patungan yakni pengaturannya dilakukan oleh bank bersama partnernya dengan perjanjian Profit and Loss of Sharing.
f.       Bank islam boleh mengelola zakat di negara yang pemerintahnya tidak mengelola zakat secara langsung. Bank islam juga dapat mengggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek –proyek yang produktif yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
g.      Bank islam juga boleh menerima dan memungut pembayaran untuk :
1)      Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan langsung oleh bank dalam melaksanakan pekerjaannya untuk melayani kepentingan para nasabah, misaalnya biaya materai, teepon dalam memberitahukan rekening dan yang lain-lainnya.
2)      Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingn nasabah, untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada umumnya.[3]
Masih banyak institusi pendidikan lebih mengenalkan bunga sebagai agian instrumen moneter dari sistem keuangan di dalam suatu negara. Hal ini diakibatkan sebagian akademisi mengambil rujukan dari beberapa literatur konvensional sehingga sistem moneter non-ribawwi kurang begitu  dikenal oleh kalangan akademisi dan masyarakan. Bahkan timbul kecenderungan beberapa pihak bersikap tidak peduli atau sebaliknya terlalu kritis terhadap keberadaan bagi hasil sebagai instrumen moneter.[4]
2.      Bunga bank menurut para ulama.
Dalam pandangan islam, bunga sama dengan riba yakni dilarang, dalam bebeapa ayat al-Quran laranga itu dinyatakan dengan sangat jelas dalam QS al-baqarah:275-276 dan surah ali imrom ayat 130. Dalam al-quran riba yang dimaksud disini adalah riba nas’iah. Menurut sebian besar ulama bahwa riba nas’iah selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. [5]
Untuk mendapatkan gambaran tentang pendapat para ulama dan kaum intelegensia muslim di indonesia, perlu dikemukakan kesimpulan dari kegiatan ulama dan cendekiawan muslim dalam membahas riba dan bank.
Muzakaroh dan pengkajian ilmiah tentang riba dan bunga bank yang dilaksanakan Majelis Ulama Sumatera Utara bersama yayasan Baitul Makmur Sumatera Utara pada tahun 1985 membuat kesimpulan sebagai berikut:
1.      Perbankkan dan lembaga-lembaga keuangan non bank adalah satu sub sistem dari sistem ekonomi dewasa ini yang sulit dapat dihindarkan.
2.      Riba yang sifatnya adh’afan mudha’afah  (berlipat ganda)  adalah hukumnya haram, sesuai dengan nash yang shahih dari al-Quran dan sunnah.
3.      Bunga bank adalah masalah yang masih berbeda pendapat para ulama, pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Mengharamkan bunga bank karena menganggapnya sama dengan riba.
b.      Membolehkan bunga bank karena menganggapnya tidak sama dengan riba, yang diharamkan oleh syarri’at islam.
c.       Bunga bank adalah haram, tetapi karena beum ada jalan keluar untuk menghindarkannya, maka dibolehkan (karena diangggap darurat).
  Majelis Tarjih Muhammadiyah Sidoarjo membuat keputusan bahwa bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara mutasabihat. Majelis Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta dalam Mukhtamar Tarjih Muhammadiyah tahun 1989 dalam masalah bunga bank masih membuat kesimpulan yang sama yakni bunga bank adalah mutasabihat.
Alasan bagi yang mengharamkan bunga bank, karrena bunga bank, karena bunga bank sama saja dengan riba yang dilarrang dalam al-Quran dan al-hadist. Mereka yang membolehkan atau menghalalkan bunga bank mendasarkan pendapatnya pada pandagan bahwa bunga bank tidak sama dengan riba. Rente (bunga bank) itu sifatnya produktif. Orang yang meminjam bukan untuk dimakan tetapi untuk dijadikan modal usaha yang akan menghasilkan keuntungan. Adalah hak dari bank yang memberi pinjaman untuk mendapatkan keuntungn pula. Demikian muhammad hattta, bagi yang membolehkan bunga bank karena darurat beralasan karena rakyat dan negara indonesia tidak bisa  lepas dari masalah bank. Bangsa dan negara indonesia diperbolehkan menerapkan dan mengambil bunga bank karena terpaksa keadaan antara lain karena belum ada lembaga perbankkan yang menerapkan kegiatan perbankkan bebas bunga.[6]       
Dalam pembahasan ulama fiqih klasik tidak dijumpai pembahasan tentang kaitan antara bunga bank dengan riba. Karena sistem perekonomian dengan bank belum dikenal dizaman mereka. Pembahasan mengenai bunga bank apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berbagai literatur fiqih kontemporer. Wahbah az-zuhaili, pakar fiqih syria membahas hukum bunga bank melalui kaca mata riba dalam terminologi ulama-ulama klasik dalam berbagai mazhab fiqih. Menurutnya, apabila standar riba yang digunakan adalah pandangan para ulama mazhab fiqih klasik, maka bunga bank termasuk riba an-nasi’ah. Karena, menurutnya bunga bank itu termasuk kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima dengan menggunakan tenggang waktu. Hal ini menurutnya, sama halnya seperti yang dibahas para ulama fiqih klasik. Oleh sebab itu bung bank termasuk riba yang diharamkan syara’.[7]
             Demikian juga pembahasan riba yang dilakukan oleh Majma’al-buhuts al-islamiyyah di kairo, sekalipun mereka mengakui bahwa sistem perekonomian suatu negara tidak boleh maju tanpa bank dan bank belum dikenal di masa rasulullah saw, namun karena sifat bunga itu merupakan kelebihan dari pokok utang yng tidak ada imbalan bagi orang yang berpiutang dan sering menjurus kepada sifat adh’afan mudha’afatan (berlipat ganda) apabila utang tidak dibayar tepat waktu, maka lembga ini pun menetapkan bahwa bunga bank termasuk kepada riba yang diharamkan syara’.
            Dikalangan organisasi islam di indonesia terdapat pula perbedaan pandangan tentang bunga bank. Dalam pandangan Muhammadiyyah, “ilat keharaman riba itu adalah eksploitasi pihak pemodal (bank) terhadap yang lemah. Dalam perkataan lain ‘illat-nya adalah kezaliman, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-baqarah,2:279. Mmenurut keputusan mukhtamar Tarjih Muhammadiyah yang dilangsungkan di malang pada tahun 1989, bunga bank itu bersifat musytahibat (diikeragui) apabila banknya adalah bank swasta, bahkan cenderung mengharamkan bunga bank swasta. Terhadap sesuatu yang musytabihat syara’ memerintahkan untuk dihindari. Sedangkann bunga bank yang terdapat pada bank-bank pemerintah, hukumnya boleh; tidak termasuk riba. Alasan yang dikemukakan antara lain adalah bahwa bank pemerintah dianggap badan yang mencakup hampir semua kebaikan dalam alam perekonomian modern dan dipandang memiliki norma yang menguntungkan masyarakat dibidang kemakmuran. Bunga yang dipungut dari sistem perkreditan sangat rendah, sehigga sama sekali tidak ada pihak yang dikecewakan. Disamping itu bunga yang dipungut bank dari peminjam uang di bank pemerintah akan digunakan juga untuk kemaslakhatan bersama bangsa indonesia. Oleh sebab itu, pungutan bunga yang dilakukan bank-bank pemerintah pada akhirnya akan dikembalikan pada rakyat indonesia dan untuk memakmurkan bangsa indonesia.  
            Sedangkan bunga yang dipungut oleh bank swasta adalah untuk kepentingan pribadi pemillik bank. Oleh sebab itu, sikap tolong menolong tidak terlihat pada bank ini dan seluruh keuntungan bank menjadi milik pribadi pemegang saham. Karenanya, dihukumkan dengan mushitabihat. Akan tetapi, Kasman Singodemedjo, tokoh mukhammadiyah sendiri menyatakan bahwa melihat beberapa konsideran keputusan tarjih Mukhammadiyah itu dan bahwa ‘illat  zalim sebenarnya juga tidak dijumpai dalam bank-bank swasta, semestinya mukhammmadiyah tidak membedakan lagi antara bunga bank milik pemerintah dengan bunga bank milik swasta; keduanya semestinya dihalalkam, asal tidak ada unsur penganiayaan atau penindasan.[8]
            Muhamad Rasyid Rida, mufasir dari mesir, setelah mengadakan analisis terhadap ayat-ayat yanng berbicara tentang riba menyimpulkan bahwa” tidak termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usaha itu kadar tertentu. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa sebab, kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha, kecuali melalui penganiayaan dan ketamakan.
            Ahmad hasan, pendiri persis, berpendapat bahwa bunga bank yang ada di indonesia tidak termasuk riba yang diharamkan al-quran, karena unsur penganiayaannya tidak ada. Demikian juga organisasi islam Nahdhatul Ulama Indonesia, telah menyepakati bahwa bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan, baik bunga bank itu terdapat pada bank pemerintah maupun bank swasta.
            Abdul Hamid Hakim, tokoh pembaharu dari Sumatera Barat, berpendapat bahwa bunga bank itu termasuk ke dalam kategori riba al-fadhl dan dibolehkan apabila dalam keadaan darurat. Karena, menurutnya riba al-fadhl merupakan jalan untuk sampai kepada riba an-nasi’ah. Oleh sebab itu, keharaman riba al-fadhl lebih bersifat preventif dan dibolehkan apabila darurat atau keperluan mendesak: sesuai dengan kaidah fiqih yang mengatakan.
الضرورة تبيح المحظورات
Darurat itu membolehkan yang dilarang
Dan keperluan mendesak dapat menempati posisi darurat.
            Mustafa Ahmad az-Zarqa, sekarang guru besar hukum islam di Universias Amman, Jordania, mengemukakan pendapat yang sama dengan Abdul Hamid Hakim, yaitu termasuk riba al-fadhl yang dibolehkan karena darurat dan bersifat sementara. Artinya, umat islam harus berupaya untuk mencari jalan keluar dari sistem bank konvensional itu, dengan mendirikan bank islam, sehingga keraguan atau sikap tidak setuju dengan bank konvensional  dapat dihilangkan.
            Syafruddin Prawiranegara, tokoh Masyumi, berpendapat bahwa bunga bank tidak termasuk riba, karena pada dasarnya bunga bank adalah jasa yang dikeluarkan atau dipungut dari dan untuk pembiayaan administrasi bank itu. Uang seseorang yang disimpan di bank, menurut mereka, oleh pihak bank diedarkan kepada masyarakat yang memerlukannya. Masyarakat yang memerlukan ini diminta membayar atau membagi sedikit uang jasa untuk biaya administrasi dan sebagiannya lagi diberikan kepada pihak nasabah. Oleh sebab itu, istilah “kelebihan tanpa imbalan“ yang dikemukakan para ulama fiqih klasik tidk terdapat dalam praktik bank dan bunga bank. Karena, uang masyarakat yang ada di bank adalah dari dan untuk masyarakat. Disampinng itu, secara prosedural, bank telah membuat suatu kesepakatan dengan nasabah atau peminjam uang di bank itu, dengan ketentun adanya persentase yang harus dibayarkan peminjam atau yang akan diterima nasabah dari keuntungan bank. Setiap nasabah atau peminjam uang menyetujui ketentuan-ketentuan itu. Dengan demikian, unsur kerelaan atas seluruh ketetapan bank telah mereka tunjukkan. Oleh itu, pihak bank tidak boleh disalahkan.
            Muhammad Quraish Shihab, mufasir indonesia, telah menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, asbab an-nuzul-nya dan pendapat berbagai munfasir, menyimpulkan bahwa illat dari keharaman riba itu adalah sifat aniaya (az-Zulm) sebagaimana yang terdapat di akhir ayat 279 surat al-Baqarah. Oleh sebab itu, menurutnya, yang diharamkan itu adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang. Kesimpulannya ini didukung oleh praktik Nabi saw. yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Dalam sebuah riwayat Abu Hurairoh dikatakan bahwa Rasulullah saw. penah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian orang itu datang kepada nabi untuk menagihnya.  Ketika dicarikan unta yang seumur dengan unta yang dipinjam, ternyata tidak dijumpai, kecuali yang lebih tua dari unta yang dipinjam. Lalu Nabi memerintahkan untuk membayarkan utangnya itu dengan unta yang lebih tua itu, sambil bersabda:
خيارالناس احسنهم قضاء (رواه احمد بن حنبل وابوداود) 

sebaik – baiknya kamu adalah orang yang sebaik-baiknya membayar utang. (HR Ahmad Hambal dan Abu Dawud)
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa jabir ibn abdillah pernah mengutangi Nabi saw. dan ketika membayarnya Nabi melebihkannya (HR Al- Bukhori dan muslim).[9]
Hingga dewasa ini di dunia islam (masyarakat) masih dirasakan perlu membicarakan masalah perbankan yang berlaku di dunia yang menggunakan sistem bunga atau rente. Hal ini dirasakan wajar mengingat para ulama dalam menghadapi bunga bank ini berbeda pendapat, baik perbedaan itu konvensional (bertentangan) maupun penyimpanan.
Pada garis besarnya para ulama terbagi menjadi  tiga bagian (tiga golongan) dalam menghadapi masalah bunga perbankan ini, yaitu kelompok yang mengharamkan, kelompok yang menganggap syubhat (samar) dan kelompok yang menganggap halal (boleh).
Muhammad abu zahrah, Abul a’la al-Maaududi muhammad abdul al-‘arabi dan muhammad nejatullah shiddiqi adalah kelompok yang mengharamkan bunga bank, baik yang mengambilnya  (bagi penyimpan uang di bank) maupun bagi yang mengeluarkannya (peminjam uang di bank).
Menurut Abul A’la Al-Maududi yang dikuti oleh muhammad Netajullah Shiddiqi dalam bukunya yang berjudul muslim economic thinking yang diterjemahkan oleh A.M Saefuddin dengan judul Pemikiran Ekonomi Islam berpendapat bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber dari sekian banyak sumber keburukan ekonomi, seperti depresi dan monopoli. Adapun alasan yang dikemukakan oleh al-maududi adalah sebagai berikut:
a.       Bunga pada pinjaman konsumtif memindahkan sebagai daya beli sekelompok orang yang kecenderungan konsumsinya tinggi kepada kelompok yang kecenderungannya rendah, kelompok yang kecenderungannya rendah menanamkan kembali pendapatnya dari bunga sebagai modal baru. Hal ini berarti permintaan konsumen turun yang dikuti dengan kenaikan produksi.
b.      Bunga pada pinjaman produksi meningkatkan ongkos produksi sehingga menaikkan harga barang-barang konsumsi. Maksudnya bahwa pinjaman prduktif dapat menaikkan harga produksi yang berarti penaikan harga barang-barang.
Alasan – alasan bunga diharamkan menurut Muhammad Netajullah Shiddiqi adalah sebagai berikut:
a.       Bunga bersifat menindas (zhalim) yang menyangkut pemerasan. Dalam pinjam konsumtif seharusnya yang lemah (kekurangan) ditolong oleh yang kuat (mampu), tetapi dengan bunga pada awalnya orang lemah ditolong kemudian diharuskan membayar bunga, itu tidak ditolong, tetappi memeras. Hal ini dapat dikatakan bahwa yang kuat (penanam modal) menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Dalam pinjaman produktif dianggap pengambilan tidak adil, mengingat bunga yang harus dibayar sudah ditentukan ketika meminjam, sementara keuntungan dalam usaha belum pasti.
b.      Bunga memindahkan kekayaan dari orang miskin (lemah) kepada orang kaya (kuat) yang kemudian dapat menciptakan ketidak seimbanagan kekayaan. Ini bertentangan dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan kehendak allah yang menghendaki penyebaran pendapatan dan kekayaan yang adil. Islam menganjurkan kerja sama dan persaudaraan dan bunga bertentangan dengan itu.
c.       Bunga dapat menciptakan kondisi manusia pengangguran, yaitu para penanam modal dapat menerima setumpukan kekayaan dari  bunga-bunga modalnya sehingga mereka tidak lagi bekerja untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Cara hidup ini berbahaya bagi masyarakat juga bagi pribadi orang tersebut.
Muhammad Abu Zahrah menegaskan bahwa rente (bunga) bank termasuk riba nas’iah yang diharamkan dalam agama islam oleh Allah dan Rasul-Nya.
Anwar Iqbal Qureshi dalam bukunya islam dan teori pembungaan uang, menegaskan bahwa beliau sepakat dengan pendapat Muhammad al-fakhir yang menegaskan bahwa:
a.       Bunga pada dasarnya bertentangan dengan prinsip liberal islam yang merupakan dasar pokok susunan masyarakat islam.
b.      Sangat salah suatu pandangan yang mengatakan bahwa islam tidak melarang bunga bias, tetapi hanya melarang bunga yang berlipat ganda. Sebetulnya dalam ajaran islam setiap jenis bunga betapapun kecilnya dinyatakan terlarang.
c.       Sebagai masyarakat berpendapat bahwa bank menolong para industri dan transaksi-transaksi dagang sehingga pemungutan bunga diizinkan. Pendapat ini ternyata keliru, yang jelas bunga bank sama dengan bunga yang diambil oleh sahukar, yaitu seorang yahudi tua yang pekerjaannya memberikan pinjaman uang dan mengambil bunganya.
d.      Untuk mencoba membenarkan bahwa bunga bank bertentangan dengan pandangan islam, maka kewajiban umat islam untuk mengemukakan prinsip-prinsip dasar ajaran islam yang berhuubungan dengan hal itu dan bukan menyembunyikan kelemahan-kelemahan dengan cara membenarkan pengambilan bunga tersebut.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Imam Fachruddin Razi tentang larangan pembungaan uang yang dikemukakan dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib atau terkenal dengan Tafsir Kabir, adalah sebagai berikuut:
a.       Setiap perubahan atau penambahan disebt riba  Nas’iah dan riba Nas’iah  diharamkan oleh agama.
b.      Bunga memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta benda orang lain tanpa alasan –alasan yang diizinkaan oleh aturan – aturan sehingga perampas tidak memperdulikan hak-hak orang lain.
c.       Secara nyata penghasilan yang diterima dari bunga uang menghambat  pemberi uang untuk berusaha memasuki suatu jabatan atau pekerjaan di masyarakat karena dia tidak berusaha pun kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi.
d.      Utang selalu menurunkan harga diri dan kehormatan seseorang di masyarakat. Apabila pembayaran ditambah dengan bunga, maka akan menghasilkan perasaan saling menghormati sifat-sifat baik dan perasaan berutang budi.
e.       Apabila dalam transaksi pinjam-meminjaam diizinkan pembungaan, maka akan tterjaadi kesenjangan sosial, yakni yang meminjamkan akan semakin kaya dan yang meminjam akan semakin tercekik. Kemudian lahirlah suatu pernyataan “yang kaya makin kaya dan yang miskin akan semakin miskin”.
f.       Alasan terakhir bunga bank dilarang ialah karena bunga bank bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran allah yang terdapat dalam al-Quran dana ajaran Rasul-Nya.           
Menurut Ahmad Azhar Basyir, bank merupakan lembaga vital dalam dunia perekonomian modern. Suatu keyataan yang jelas adalah bahwa tidak ada umat islam yang tidak bermuamalah dengan bank yang ada dewasa ini dengan pertimbangan dalam keadaan darurat.
Mustafa Ahmad al-Zahrah, merupakan salah seorang guru besar Hukum Islam dan Perdata Universitas Suriah berpendapat sebagai berikut:
a.       Sistem perbankkan yang berlaku hingga kini dapat diterima sebagai suatu penyimpanan yang bersifat sementara. Dengan kata lain sistem perbankan merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari sehingga umat islam dibolehkan bermuamalah atas dasar pertimbanggan darurat, tetapi umat islam harus senantiasa berusaha mencari jalan keluar.
b.      Pengertian riba dibatasi hanya megenai praktik riba dikalagan arab jahiliyah, yaitu yang benar-benar merupakan suatu pemerasan dari orang-orang mampu (kaya) terhadap orang-orang miskin dalam utang piutang yang bersifat konsumtif, bukan utang piutang yang bersifat produktif.
c.       Bank – bank dinasionalisasi sehingga menjadi perusahaan negara yang akan menghilangkan unsur-unsur eksploitasi. Sekalipun bank negara mengambil bunga sebagai keuntungan, penggunaannya bukan untuk orang-orang tertentu, melainkan menjadi kekayaan negara yang akan digunakan untuk kepentingan umum.
Ulama Muhammadiyah dalam mu’tamar tarjih di sidoarjo jawa timur tahun 1968 memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya dan sebaliknya termasuk masalah musytabihat.[10] Masalah musytabihat adalah perkara yang belum ditemukan kejelasan hukum halal atau haramnya, sebab mengandung unsur-unsur yang mungkin dapat disimpulkan sebagai perkara yang haram. Namun, ditinjau  dari segi lain ada pula unsur-unsur lain yang meringankan keharamannya. Dipihak lain bunga masih termasuk riba sebab merupakan tambahan dari pinjaman pokok. Meskipun tidak terlalu besar, tetapi disisi lain bunga yang relatif kecil itu bukan merupakan keuntungan perorangan, melainkan keuntungan yang digunakan untuk kepentingan umum. Pertimbangan besar kecilnya bunga \dan segi penggunaannya dirasakan agak meringankan sifat larangan riba yang unsur utamanya adalah pemerasan dari orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin. Meskipun bunga bank dianggap musytabihat tidak berarti umat islam diberikan kebebasan untuk mengembangkan bunga. Nabi SAW memerintahkan umat islam hati-hati terhadap perkara syubhat dengan cara menjauhinya.
Menyimak pendapat Mustafa Ahmad al-Zarqa dan ulama Muhammadiyah diatas, kiranya dapat dipahami bahwa umat islam dibolehkan bermuamalah dengan bank.
Pendapat selanjutnya dari a.Hasan pendapat yang menghalalkan pengambilan atau pembayaran bunga di bank yang ada dewasa ini, baik bank swasta maupun bank negeri. Pendapat ini diperjelas dala QS.Ali Imron ayat 130, yang bunyinya;
“Jangan kamu memakan riba dengan berlipat ganda”
Jadi riba adalah bunga yang berlipat ganda. Bila bunga hanya dua persen dari modal pinjaman itu, itu tidak berlipat ganda sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oleh agama islam. Dan pendapat  ini dibantah oleh Fuad Mohd. Fachruddin dalam bukunya riba dalam bank,koperasi, perseroan dan asuransi. Menurutnya dalam surat ali Imron ayat 130 dijelaskan riba yang berlipat ganda atau riba jahiliyah, sedangkan rente tidak berlipat ganda. Hal ini tidak berarti bahwa bunga yang tidak berlipat ganda itu boleh.[11]
Alasan mendasar kenapa al-Quran memberiak putusan  hukum yang sangat keras terhadap riba (bunga) adalah karena islam ingin menciptakan suatu sistem ekonomi, dimana segala bentuk eksploitasi bisa dihapus juga. Islam juga ingin menghapus segala bentuk ketidakadilan dalam ekonomi, yaitu ketidak adilan pihak pemodal yang menginginkan return yang positif, tanpa melakukan kerja apa pun atau tanpa harus berbagi dalam risiko, sementara disisi lain pelaku bisnis harus bekerja keras dan mengelola usaha tanpa mendapatkan kepastian atas return yang positif.[12]  
   








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam catatan sejarah kuno, sistem pembungaan uang telah dikutuk oleh para ahli pikir. Dikalangan bangsa Yunani yang terkenal memiliki peradaban yang tinggi. Praktik peminjaman uang dengan memungut bunga dilarang dengan keras. Aristoteles yang mempunyai pengaruh besar pada generasi-generasi sesudahnya secara tegas mengutuk pembungaan uang. Menurut aristoteles, fungsi uang yang utama adalah untuk mempermudah perdagangan dan mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Plato juga berpendapat sama dengan Aristoteles ia mengutuk praktik pembungaan uang.















DAFTAR PUSTAKA
Djuwaini, Dimyauddin,  Pengantar Fiqih muamalah, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,  2008)
Haroen, Nasrun, Fiqih Muamalah,  (Jakarta: Gaya Media Pratama ,2007)
Muslich, Ahmad Wardi, fiqih muamalah,( jakarta: amzah 2010)
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia,2003)
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Rajawali Press 2010)
Yanggo, Chuzaimah T, Problematika Hukum Islam Kontemporer III,(jakarta: Penerbit  Pustak Firdaus, 1995)



[1] Drs. H. Ahmad Wardi muslich, fiqih muamalah,( jakarta: amzah 2010)hlm 503
[2] Ibid. Hlm 505.
[3] Ibid. Hlm 505
[4] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia,20030 hlm 23-24.
[5] Drs.h. Ahmad Wardi Muslich. Hlm 506
[6] Dr. H. Chuzaimah T yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III,(jakarta: Penerbit  Pustak Firdaus, 1995) hlm 64-65.
[7] Dr. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqih Muamalah,  (Jakarta: Gaya Media Pratama ,2007) hlm.188.
[8] Ibid.hlm 189
[9] Dr. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqih Muamalah,  (Jakarta: Gaya Media Pratama ,2007) hlm.188-190.
[10] Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Rajawali Press 2010).hlm 276-281.
[11] Ibid.hlm 282
[12] Dimyauddin djuwaini, Pengantar Fiqih muamalah, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,  2008) hlm, 203-204.